SriSundari – Di hadapan DPR RI dan Pemerintah, Komite II DPD RI memberikan beberapa catatan terhadap RUU Tentang Perubahan Atas UU No. 5 Tahun 1990, Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (RUU KSDAHE).
“Pada kesempatan ini kami menyatakan setuju atas RUU KSDAHE untuk ditindaklanjuti ke pembicaraan tingkat II. Namun ada pendapat akhir mini RUU ini, di mana ada beberapa catatan terhadap RUU tersebut,” ujar Emma Yohanna, Anggota Komite II DPD RI di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (13/6/24).
Dalam kesempatan itu, Emma mengatakan bahwa DPD RI berpendapat perubahan atas UU ini merupakan keniscayaan. Hal itu terlepas dari kontribusinya yang sangat luar biasa terhadap upaya penyelamatan keanekaragaman hayati tropika beserta ekosistemnya.
“Perlu disadari sepenuhnya, bahwa dalam kurun waktu sejak tahun 1990 hingga saat ini, telah terjadi banyak perubahan yang menuntut agar keberadaan UU konservasi ini lebih efektif lagi dalam ‘memagari’ dan ‘memayungi’ hal ihwal, terkait pemanfaatan sumber daya yang berisiko terhadap gangguan lingkungan maupun keberlanjutannya,” ungkap Emma.
Emma juga menggarisbawahi judul RUU, bahwa dengan memperhatikan usulan pemerintah agar RUU KSDAHE tetap menjadi RUU perubahan. DPD RI sependapat dengan penjelasan yang telah disampaikan oleh Pemerintah.
Selain itu, DPD RI juga mendukung hasil keputusan rapat panja terkait Pasal 5A dan berharap agar tarik-menarik kewenangan antar kementerian/lembaga tidak menciptakan ego sektoral. Tujuannya untuk keberlangsungan penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya agar dapat berjalan dengan baik di setiap tataran.
“DPD RI juga mengapresiasi mengenai batasan pengertian areal preservasi yang merupakan pengaturan baru dalam RUU ini,” terang Emma.
Anggota DPD RI asal Provinsi Sumatera Barat itu menambahkan, DPD RI berpendapat bahwa pengaturan mengenai masyarakat hukum adat, perlu dilakukan dengan hati-hati. Hal ini mengingat belum terbitnya UU mengenai masyarakat hukum adat.
“Hal yang perlu diatur justru keterlibatan masyarakat lokal dan pembinaan serta pemberdayaan masyarakat sekitar yang dampaknya kembali ke konservasi sumber daya alam hayati. Bahkan masyarakat lokal atau masyarakat adat seharusnya menjadi penerima manfaat paling utama dari keberadaan dan penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati,” bebernya.
Selain itu, DPD RI berpendapat bahwa ketentuan mengenai pendanaan yang perlu diatur adalah yang bersifat alternatif selain APBN, APBD, donor korporasi dan donor asing. Bahkan kegiatan konservasi perlu juga menggali model-model pendanaan alternatif, misalnya dari sektor swasta.
“Jadi tidak sekedar CSR perusahaan, tetapi memasukkan isu lingkungan ke dalam sistem investasi korporasi. Aturan di tingkat UU juga diperlukan apabila ke depan akan menerapkan pajak atau iuran bagi kegiatan-kegiatan ekonomi yang punya dampak terhadap lingkungan,” jelas Emma.
Emma juga sependapat rambu-rambu yang telah disampaikan oleh pemerintah terkait dengan ketentuan pidana. Selain itu DPD RI juga dapat menerima keputusan rapat panja, walaupun pendapat awal DPD RI lebih mengusulkan sanksi administratif yang dapat lebih memberikan efek jera dibandingkan sanksi pidana yang prosesnya memakan waktu dan sering rumit.
“Perlu juga dimasukkan mengenai sanksi yang bersifat restorative justice dimana terpidana diwajibkan melakukan restorasi terhadap kerusakan yang ditimbulkan atas kejahatan yang dilakukan, baik di tingkat ekosistem, jenis tumbuhan dan satwa, maupun sumber daya genetik,” harapnya.
Sebagai catatan penutup, lanjut Emma, DPD RI berpendapat bahwa peraturan pelaksana sebagai amanat dari UU Tentang KSDAHE sesuai keputusan rapat panja agar dapat segera diterbitkan.
“Kami di DPD RI berharap keputusan rapat panja agar dapat segera diterbitkan,” pungkas Emma.(Rafa)