SriSundari – Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta terus memperkuat tata kelola pemantauan kualitas udara, yang berbasis data dan kolaborasi lintas sektor. Hal ini pun menjadikan Jakarta telah memiliki sistem pemantauan kualitas udara terintegrasi dan terluas di Indonesia, dengan 111 Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKU) yang aktif di seluruh wilayah ibu kota.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta, Asep Kuswanto, menjelaskan, sistem pemantauan tersebut merupakan kombinasi antara stasiun referensi dan sensor berbiaya rendah (Low-Cost Sensor atau LCS) yang dipasang di berbagai titik strategis.
“Melalui sistem yang terintegrasi ini, kami dapat memantau kondisi udara secara real-time dan melakukan langkah mitigasi lebih cepat untuk melindungi kesehatan warga,” ungkap Asep di Jakarta, Jumat (17/10/2025).
Jaringan pemantauan ini merupakan hasil kolaborasi antara DLH DKI Jakarta, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), organisasi masyarakat sipil, perguruan tinggi, serta mitra dari sektor swasta.
Lebih lanjut Asep juga menambahkan, seluruh data dari SPKU terhubung ke portal publik udara.jakarta.go.id, yang menampilkan data kualitas udara terkini berdasarkan Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU).
Diharapkan melalui portal ini, masyarakat dapat memantau kondisi udara harian, melihat peta sebaran sensor, mengetahui wilayah dengan ISPU terbaik maupun terburuk, serta memperoleh rekomendasi aktivitas bagi kelompok umum maupun sensitif.
“Jakarta telah membuktikan bahwa tata kelola data yang terbuka dan terintegrasi tidak hanya memperkuat kebijakan berbasis bukti, tetapi juga mendorong partisipasi masyarakat untuk hidup lebih sehat dan berkelanjutan,” kata Asep lagi.
Jakarta, kembali Asep menjelaskan, juga tengah menyiapkan Early Warning System (EWS) untuk polusi udara sebagai langkah antisipatif dan responsif terhadap potensi peningkatan pencemaran.
“Melalui sistem peringatan dini ini, warga akan mendapatkan informasi kualitas udara secara real-time hingga tiga hari ke depan, lengkap dengan rekomendasi langkah mitigasi seperti memakai masker atau mengurangi aktivitas di luar ruangan,” tegasnya.
Pemprov DKI juga telah menggelar forum lintas daerah untuk memperkuat tata kelola data kualitas udara bersama pemerintah daerah di Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Bodetabek). Pelatihan ini untuk mendukung peningkatan kemampuan teknis daerah sekitar, khususnya dalam hal pemantauan dan pengelolaan data kualitas udara.
Sementara itu, Direktur Clean Air Asia Indonesia, Ririn Radiawati Kusuma, mengatakan Jakarta dapat berperan sebagai pionir dengan memberikan dukungan teknis maupun hibah alat pemantauan ke daerah sekitar, serta berbagi data lintas batas wilayah.
”Dengan berbagi praktik baik seperti ini, kita bisa membangun sistem pemantauan yang saling terhubung. Karena udara bersih adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya satu daerah saja,” terangnya.
Dalam hal yang sama, Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi Institut Pertanian Bogor (IPB), Ana Turyati menilai, langkah Jakarta memperluas sistem pemantauan kualitas udara merupakan contoh penting bagi kota-kota lain di Indonesia.
“Pemantauan kualitas udara yang baik memastikan data yang dihasilkan akurat, dapat dipertanggungjawabkan, dan berguna bagi kebijakan publik. Dari data tersebut, kita bisa menilai tren pencemaran, efektivitas kebijakan, sekaligus memberikan peringatan dini bagi masyarakat,” jelas Ana.
Ana menambahkan, desain jaringan stasiun pemantau udara di kawasan perkotaan idealnya mencakup beragam karakteristik wilayah — mulai dari kawasan permukiman padat, industri, titik lalu lintas padat, hingga perbatasan kota. Dengan demikian, hasil pemantauan dapat menggambarkan kondisi udara secara menyeluruh dan representatif.
“Pemantauan udara bukan sekadar mencatat angka, tetapi menjadi dasar bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan pengendalian polusi yang akurat dan terukur,” urainya.
Hal senada juga disampaikan Direktur Perlindungan dan Pengelolaan Mutu Udara Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Edward Nixon Pakpahan, pentingnya data pemantauan kualitas udara yang akurat sebagai dasar pengambilan keputusan pemerintah, terutama saat kualitas udara memburuk.
Menurutnya, kebijakan lingkungan tidak bisa dibuat berdasarkan asumsi semata. Data yang valid menjadi landasan utama untuk menentukan langkah mitigasi yang efektif dan cepat, termasuk pemberian peringatan dini kepada masyarakat.
“Ketika kualitas udara menurun, keputusan harus berbasis bukti, bukan perkiraan. Karena itu, keandalan data menjadi hal yang sangat krusial,” jelas Edward.
KLH juga berencana memperluas cakupan pemantauan, khususnya di daerah dengan tingkat polusi tinggi. Langkah ini akan dilakukan melalui integrasi jaringan pemantauan hybrid yang menggabungkan data dari berbagai sumber — termasuk stasiun referensi milik pemerintah daerah, BMKG, sektor swasta, hingga lembaga penelitian. Saat ini, KLH sudah memasang 12 stasiun pemantau di Jabodetabek.
“Dengan sistem terintegrasi ini, pemantauan bisa dilakukan secara real-time dan memberikan gambaran kualitas udara yang lebih komprehensif di tingkat regional,” tandas Edward.(Rafa)








