SriSundari – Masalah kasus kekerasan seksual, perundungan dan penculikan anak, menjadi perhatian serius Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Hal ini sebagaimana dibahas dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dilaksanakan beberapa hari lalu, tepatnya Senin, 22 Desember 2025, membahas inventarisasi materi pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 terkait isu perundungan, pelecehan seksual, dan penculikan anak.
Sorotan Anggota Komite III DPD RI Dapil Daerah Istimewa Yogyakarta, Ahmad Syauqi Soeratno cukup tegas, bahwa kekerasan seksual merupakan tindak pidana yang tidak dapat diselesaikan melalui musyawarah atau mediasi.
“Kecuali yang pelakunya adalah anak di bawah umur, kekerasan seksual itu tidak boleh dimediasi. Relasi korban dan pelaku tidak setara, dan ini jelas tindak pidana,” tegas Ahmad Syauqi.
Dalam forum tersebut, DPD RI menghimpun pandangan dari pemerintah daerah, aparat penegak hukum, lembaga perlindungan anak, komunitas pendamping korban, hingga perwakilan Forum Anak. Dari paparan yang disampaikan berbagai pihak tersebut menunjukkan bahwa meskipun DIY telah memiliki regulasi dan layanan pendukung, kesenjangan pemahaman dan koordinasi di lapangan masih menjadi tantangan utama.
Lebih lanjut Ahmad Syauqi menilai, salah satu persoalan krusial dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah koordinasi antarinstansi yang belum berjalan optimal. Padahal, kasus-kasus ini membutuhkan respons cepat, jelas, dan tidak saling menunggu.
Untuk itu, Syauqi juga menekankan pentingnya penyamaan persepsi lintas sektor, agar penanganan kasus tidak salah arah.
“Hari ini kita kumpulkan seluruh stakeholder yang menangani persoalan perundungan terhadap anak, kekerasan atau pelecehan seksual, serta penculikan anak untuk identifikasi persoalan di DIY dan agar koordinasi pihak terkait berjalan lancar,” kata Ahmad Syauqi lagi.
Dalam data Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kota Yogyakarta, menunjukkan hasil survei pada 14.846 siswa SMP, SMA dan SMK bahwa 15% dari responden mengalami kekerasan. Kekerasan yang paling banyak dialami berupa kekerasan verbal (15%) dan kekerasan fisik (14%).
Kepala KPAID Kota Yogyakarta, Sylvi Dewajani menyebutkan, tantangan internal dalam pemenuhan dan perlindungan hak anak, diantaranya pergantian kepala dinas yang menyebabkan terhambatnya keberlanjutan program, koordinasi lintas instansi sulit dilakukan, kebutuhan adanya lembaga pengawasan dan pembaharuan peraturan perundangan.
“Perda KLA Kota Yogyakarta yang telah berusia 9 tahun, perlu untuk kembali direview dan diperbaharui sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat ini,” ungkap Sylvi.
Anggota DPD RI dari DIY ini mendorong pembentukan forum lanjutan lintas sektor yang memiliki agenda, target, dan alur rujukan yang jelas. Hasil pertemuan tersebut akan dirangkum menjadi rekomendasi Daerah Istimewa Yogyakarta untuk disampaikan kepada kementerian terkait di tingkat nasional.(NA)








